Senin, 26 September 2011

Melihat Papua


MEMANDANG PAPUA DARI YOGYA
Dengan adanya tantangan dan permasalahan yang cukup bersarat di era ini yang ditandai dengan perkembangan Ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi dewasa ini menuntut persiapan dan kesiagaan yang matang oleh berbagai pihak. Apapun corak lembaga, organisasi atau siapa pun orang, di mana pun keberadaannya, tantangan tersebut mau atau tidak harus dihadapinya. Sebab hal itu merupakan sebuah situasi dan anjang yang dapat membawanya ke arah kematangan dan kedewasaan untuk menjadi tangguh dan kuat, bahkan untuk menunjukkan kualitasnya yang baik dan dapat dipertanggung jawabkan.


Pembangunan lokal dan daerah, baik di kabupaten kota maupun di propinsi yang baik dan bersinergis serta merata merupakan tuntutan tingkat nasional guna menghadapi persaingan regional dan internasional, yaitu baik di tingkat ASEAN maupun di tingkat belaan dunia yang lain. Dan terwujudnya hal tersebut sangat tergantung pada persiapan dan pemerataan pembangunan di tingkat lokal, dan terutama pembangunan manusia Indonesia yang seutuhnya. Dan juga sangat tergantung pada bagaimana kebijakan dan cara pandang pemerintah pusat kepada seluruh masyarakat secara merata, tanpa membeda-bedakan ras, golongan dan kelompok, terutama kepada masyarakat Papua secara utuh.


Perlu disadari dan diingat oleh pemerintah Republik Indonesia, baik di tingkat pusat maupun di daerah bahwa manusia adalah insan ciptaan Allah yang mulia dari semua ciptaan, yang harus dijunjung tinggi, bahkan diberikan porsi yang selayaknya dalam segala bidang. Dan karena itu manusia harus dijadikan sebagai subjek pembangunan itu sendiri, dan bukan alat dan anjang perebutan kekuasaan dengan berbagai slogan yang menarik dan indah. Karena itu manusia ciptaan dan citra Allah tersebut perlu dilihat dan dilayani secara layak sebagaimana dikehendaki oleh Sang Pencipta itu sendiri apapun warna kulit, perbedaan bahasa dan suku, apapun latar belakang, dari mana pun asalnya, apapun golongan dan partainya, dan apapun agama sehingga diperhatikan dan diberikan kedudukan yang layak pada tempatnya.         


Dalam menjawab persoalan dan tantangan, bahkan untuk menghadapi persaingan di atas, sangat tergantung pada bagaimana perhatian pemerintah daerah baik di tingkat kabupaten kota dan propinsi dalam mempersiapkan kualitas sumber daya manusianya. Persiapan sumber daya manusia tersebut yang berkualitas dan bertanggung jawab secara profsional pada bidangnya di berbagai bidang pembangunan. Sebab hanya itu solusi dan jawaban bagi persoalan dan tantangan tersebut. Selain itu, persoalan dan tantangan di atas juga dapat dijawab dengan bagaimana pendangan dan perhatian pemerintah daerah sebagai pemegang central pembangunan kepada manusia sebagai insan ciptaan Allah itu. Apakah manusia itu di pandang sebagai obyek atau subyek pembangunan? Benarkah manusia itu central pembangunan daerah? Bagaimana dan dari mana mewujudkan hal itu? Siapakah pemeran utama dalam pemerataan dan menjawab persoalan tersebut? Semua jawaban tersebut akan menjawab sejumlah masalah dan tantangan di atas. Dan jawaban tersebut perlu pembuktian di dunia nyata dan dapat dirasakan oleh semua pihak.


Karena itu organisasi kemahasiswaan, organisasi sosial atau wadah seperti Lembaga Swadaya Masyarakat merupakan suatu tempat yang penting dan juga merupakan dunia kerja mini bagi anggota untuk mempersiapkan diri dan dipersiapkan dengan berbagai kegiatan dan program organisasi. Sebab organisasi apapun yang dilengkapi dengan aturan dan garis-garis besar haluan kerja organisasi, maka dapat menjadi jawaban terhadap masalah dan tantangan di atas. Tetapi juga para anggota dapat bersatu padu di dalamnya dan taat atau tunduk kepadanya untuk mempersiapkan diri. 


Perlu disadari dan dipahami bersama bahwa dari segi lain, pemberlakuan otonomi khusus dan daerah itu memberi kemudahan di beberapa permasalahan manusia Papua. Hal itu seperti yang terlihat dalam UU Republik Indonesia No. 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Propinsi Papua, bahwa ’’masyarakat Papua sebagai insan ciptaan Tuhan bagian dari umat manusia yang beradab, menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia, nilai-nilai agama, demokrasi, hukum dan nilai-nilai budaya yang hidup dalam masyarakat hukum adat, serta memiliki hak untuk menikmati hasil pembangunan secara wajar.’’[1]


Ini menunjukkan bahwa kelihatannya dengan adanya undang-undang tersebut ada perhatian dan kebijakan yang berpijak kepada masyarakat setempat, yaitu mengangkat dan memberikan tempat yang sesungguhnya dari segala ketimpangan dan ketidakadilan yang terjadi selama ini. Namun demikian, dengan kenyataan yang ada di lapangan ternyata tidak seperti yang terlihat dalam semua keindahan, kemanisan dan pengaturan kalimat yang baik di dalam Undang-undang itu sendiri. Sebab ternyata Undang-Undang itu menjadi tulisan yang mati dan tidak bernyawa karena yang hidup dan berkeliaran di bumi Papua adalah kebalikan dari keindahan slogan yang ada. Dari segi lain sesungguhnya adanya UU Otonomi Khusus itu tidak sesuai dengan watak dan karakter masyarakat pribumi Papua. Pemberlakuan dan pelaksanaan otonomi khusus tersebut sesungguhnya secara tidak langsung terjadi pembunuhan karakter, di mana hal itu memunculkan, bahkan memproduksi berbagai watak seperti: sikap egoistis, ketamakan, pembohong, terjadi kecemburuan sosial yang tajam baik secara horizontal maupun secara vertikal dan sebagainya. Hal itu kadang-kadang terlihat dalam kehidupan rill di mana para pejabat daerah yang merupakan simbol dan alat negara tersebut menyamar dengan menggunakan stegmen dan slogan yang menarik perhatian umat Tuhan di Papua demi kepentingan kelompok belaka.


Selain itu dampak dari pemberlakuan UU OTSUS tersebut juga bermunculan berbagai partai politik menjadi anjang dan perhatian publik masyarakat pribumi, bahkan menjadi incaran masyarakat setempat yang paling subur di daerah. Kemudian secara langsung atau tak langsung, gereja baik secara wadah maupun individu menjadi anjang dan tempat perebutan kekuasaan bagi kelompok dan golongan tertentu. Terjadi ketimpangan baik oleh pemerintah daerah maupun oleh gereja dalam penempatan kekuasaan dan fungsi masing-masing institusi besar ini. Kadang-kadang juga terjadi saling bergantung baik gereja maupun pemerintah, sehingga terkesan tidak mandiri dan tidak menjadi dewasa atau mandiri "menjadi manja".


Puncak dari semua permasalahan di atas adalah issue dan pelaksanaan pemekaran wilayah, kabupaten kota dan provinsi menjadi sangat subur, terutama di propinsi Papua. Masalah pemekaran menjadi hal biasa, sebab terjadi kondisi di mana terbentuk suatu watak karakter masyarakat setempat dengan program tersebut, guna membagi-bagi kursi dan jabatan. Pada semuanya ini dikondisikan oleh pemerintah pusat untuk mematikan, bahkan menghancurkan karakter orang pribumi Papua. Dan pemekaran adalah salah satu program dan alat pemerintah pusat yang sangat subur, kemudian telah diterapkan secara baik oleh para pejabat daerah yang merupakan penyamaran pemerintah pusat. Pada hal pemekaran kabupaten / kota atau propinsi tersebut seseungguhnya akan menimbulkan konflik sosial dan konflik horizontal di antara sesama masyarakat pribumi, tetapi juga dengan masyarakat luar Papua yang mengisi lapangan kosong itu sendiri. 


Semua permasalahan di atas secara langsung mengganggu pertumbuhan dan perkembangan gereja baik secara kualitas maupun secara kuantitas. Penerapan dan pemberlakuan Otonomi Khusus yang tidak pada tempatnya itu secara otomatis mengikis nilai-nilai kekristenan yang tumbuh subur beberapa tahun yang lalu. Penerimaan dan pemberlakuan partai politik yang menjadi jembatan untuk memungkinkan terjadinya segala sesuatu yang ditolak oleh gereja dan masyarakat pribumi. Pada hal di dalamnya sedang menyelinap dan terselubung misi khusus yang tidak dilihat oleh para politikus daerah dengan ketidakpahaman keberadaan partai politik tertentu, terutama partai golongan. Dan juga dengan adanya pemekaran wilayah di mana menyendot semua generasi gereja dan tulang punggung pembangunan itu sendiri. Dan pada akhirnya masyarakat pribumi selalu dikambing-hitamkan dengan issue-issue seperti “Gerakan Pengacau Keamanan (GPK)’’ dan gerakan Organisasi Papua Merdeka (OPM) oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah.


Hal-hal di atas adalah apa yang saya lihat dan amati bahkan ikuti dari jauh, meski tidak mengalami langsung terhadap semuanya. Dan situasi tersebut menjadi pergumulan dan pengaduan saya kepada Sang Khalik setiap hari. Harapan saya adalah kedua lembaga besar di Papua, yaitu Gereja dan Pemerintah di tempatkan di tempat yang tepat dengan sistem dan aturan mainnya untuk memperhatikan dan melayani masyarakat atau umat Allah itu secara utuh. Oleh karena itu berikut saya memberikan beberapa hal sebagai warning kepada pimpinan gereja dan masyarakat pada umumnya bahwa: 

1.  PERHATIAN: Gereja Tuhan dan masyarakat tidak boleh terlena dan merasa nyaman dengan adanya pemberlakuan OTSUS. Perhatikan dampak positif dan negatif dari pemberlakukan UU OTSUS tersebut dengan karakter dan watak orang Papua sebelum dan sesudahnya.  
  
2. WASPADA: Gereja Tuhan dan masyarakat Papua sedang digiring dengan tawaran-tawaran semu untuk mencapai tujuan bangsa ini, yang sebenarnya sama sekali tak ada keuntungan, bahkan justru membawa kepada kehancuran dan memecah belah persatuan dan kekeluargaan di Papua. Karena itu perlu adanya kewaspadaan baik oleh anak Tuhan yang di birokasi, oleh gereja dan LSM-LSM yang ada, terutama kebijakan pemerintah yang menjadi baru dan merugikan masyarakat pribumi.  

3.    INGAT: Sebenarnya Tanah Papua telah dipersembahkan kepada Tuhan sejak awal, yaitu sebelum pemerintah Republik Indonesia memasuki Pulau ini. Artinya manusia dan segala yang ada, baik yang di atas tanah ini, maupun yang ada dalam perut bumi tanah ini telah dipersembahkan kepada Allah. Oleh karena itu apabila segala kebijakan dan sistem yang ada di tanah ini, yang tidak berpijak kepada kepentingan masyarakat Papau, maka berbagai kutuk akan berdatangan, seperti penyakit, pertumpahan darah, program pemusnahan etnis, diskriminasi, free seks dan sebagainya. 

4.    HINDARI: Semua program yang ditawarkan oleh pemerintah negara ini tidak semuanya baik dan menguntungkan. Ada yang kelihatan baik, tetapi mematikan secara perlahan-lahan. Karena itu perlu ada kewaspadaan dan menghindari segala bentuk tawaran yang mematikan watak masyarakat pribumi. Jadi, gereja harus berdiri pada fungsinya sebagai fungsi kontrol dengan tidak terjebak kepada berbagai tawaran semu.  

5.    LAKUKAN: Tuhan menciptakan manusia kemudian dihadirkan di bumi dengan tujuan tunggal, yaitu mempermuliakan Allah. Oleh karena segala sesuatu dilakukan hanya untuk memuliakan Allah, bukan untuk memuliakan manusia atau penguasa. 

6.    BERDOA: Doa merupakan senjata ampuh yang tak tertandingi di dalam penyeslesaian masalah dan melakukan semua tugas umat manusia. Senjata ampuh itu telah dimiliki oleh setiap orang percaya, yang harus dilakukan pada setiap kesempatan. Karena itu gereja-gereja dan semua masyarakat berdoa dan memohon ampun kepada Tuhan atas segala dosa, agar Papua keluar dari berbagai persoalan dan ditransformasi menuju kepada Papua baru.  


[1]Undang-undang dan Pemerintah Republik Indonesia tentang “Provinsi Papua” meliputi: Undang-undang Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia, Peraturan Presiden Republik Indonesia, Keputusan Presiden Republik Indonesia dan Instruksi Presiden Republik Indonesia, Jakarta 2007

Kamis, 01 September 2011

ORGANISME YANG TERORGANISIR

(1 Korintus 14:39-40)

Yang dimaksudkan dengan organisme adalah makhluk hidup dengan anggota-anggotanya yang bekerja bersama-sama. Penekanannya adalah pada kehidupan yang ada padanya. Gereja juga dapat digambarkan sebagai organisme yang bertumbuh secara teratur sebab ada sistem yang menggerakan secara sempurna dan otomatis untuk terjadi pertumbuhan. Sayangnya, kehidupan yang terdapat di dalam gereja seringkali diartikan secara salah. Kehidupan diartikan sebagai suatu program yang spontan, ide-ide yang besar atau banyaknya program yang dilakukan di dalam gereja. Ada juga yang mengaitkan kehidupan tersebut secara kaku dengan peranan Roh Kudus, sehingga mereka melakukan pelayanan secara spontan dan tanpa persiapan apapun baik dari segi finacial maupun sumber daya manusia, bahkan melakukan program berdasarkan “Apa kata Roh Kudus saja,” tanpa mengadakan sosialisasi dan konsesus kepada anggota gereja dan para pemimpin gereja yang lain. Cara ini bukan model kehidupan gereja yang diinginkan Allah.

Di sisi lain ada yang menekankan gereja hanyalah sebuah organisasi semata, yaitu tidak lebih daripada sebuah susunan posisi tertentu dengan tugas masing-masing yang menuntut upah atau gaji. Semua bentuk program, kegiatan dan pelayanan harus berdasarkan aturan tertulis yang kaku di dalam pelaksanaannya. Gereja membuat “Hukum Taurat” baru sehingga menghambat aktivitas dan pelaksanaan pemberitaan Injil. Jemaat menjadi kaku dan suasana di dalam gereja menjadi suam-suam kuku atau boleh dikatakan “gereja yang mati.” Karunia-karunia Roh Kudus yang sebenarnya dianugerahkan untuk saling memperlengkapi tubuh Kristus itu, tidak mendapat tempat yang semestainya. Semua berjalan hanya sebagai rutinitas dan sesuai aturan saja, sehingga menjadi hambar.

Oleh karena itu kepada jemaat di Korintus, rasul Paulus memberikan kesempatan bagi jemaat untuk mempraktekan semua karunia rohani yang membuat gereja hidup. Sayangnya justru mereka menjadi terkotak-kotak, karena masing-masing kelompok melakukan kegiatan dan pelayanan menurut kemauannya sendiri-sendiri. Tidak ada organisasi yang mantap di jemaat itu. Itulah sebabnya Paulus menegaskan bahwa “... segala sesuatu harus berlangsung dengan sopan dan teratur.” Rasul Paulus ingin supaya gereja tetap hidup dan bertumbuh, di mana kuasa dan karunia-karunia Roh Kudus bekerja dengan leluasa dan tertib. Gereja harus menjadi organisme yang hidup namun juga harus terorganisir dengan baik. Gereja harus tersusun rapi, termasuk di dalam menjalankan aktivitasnya demi terjadinya pertumbuhan yang positif.

Bersyukurlah karena Tuhan memberikan kita karunia-karunia Roh, sehingga kita bisa hidup dan melakukan semua bentuk pelayanan dengan karunia masing-masing sebagaimana mestinya (Ef. 4:11-16). Tetapi janganlah kita mempraktekannya secara asal-asalan, sebab justru dapat menjadi batu sandungan bagi orang lain. Bersyukurlah juga karena Tuhan memberikan kita kemampuan untuk memahami dan menerapkan sistem organisasi yang baik. Tetapi janganlah memahami dan menerapkannya dengan terlalu kaku, agar kehiudpan dan pertumbuhan itu terhimpit, sehingga membuat anggota jemaat hilang semangat dan kreativitasnya. Kewajiban pemimpin adalah memandukan keduanya menjadi satu kekuatan besar dan memberikan kesempatan secara leluasa agar gereja bertumbuh dan berkembang sebagaimana seharusnya, sehingga menjadi berkat. Ingat, gereja yang benar adalah gereja yang hidup dan berkembang secara teratur dengan mengefektifkan semua kemampuan gereja.
By. Lenis Kogoya